For farmers in general who live in rural areas, it is very clear that agriculture is life itself, not only as a source of livelihood that will generate income but also as an identity and culture. Agricultural practices and the ability to cultivate agriculture are the foundations of rural life. Farmers have long exploited biodiversity through agricultural practices by selecting and breeding plant and livestock seeds for thousands of years. Until now, we can still find some farmers who still master this skill without outside help. In fact, all agricultural biodiversity on earth was created by farmers who for thousands of years have been developing crops and livestock according to farmers’ needs and desires. According to a report from the ETC group, since the 1960s, the world’s small farmers have developed 1.9 million crop varieties.

Much of that genetic resource has slowly flowed to many international seed banks or directly to researchers. International seed companies benefit most from the free availability of these genetic resources and develop them into multi-million dollar superior, hybrid, or transgenic seeds. To date, researchers in the seed industry have developed 72,500 new varieties of plants or nine times the new varieties developed by public institutions. Contrary to this, an international rule mandated by a treaty or pact on “sharing benefits” is practically non-existent.

Given the importance of the existence of plant breeders, the Indonesian government issued various instruments that regulate plant breeding, namely Law Number 12 of 1992 concerning Plant Cultivation Systems and Law Number 29 of 2000 concerning Protection of Plant Varieties, and Law Number 4 of 2006 concerning Ratification of the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Agreement on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture). The main objectives of the new seed law are to facilitate new markets for commercial seed companies, multinational ownership of the seed sector in the global South, and the exclusion or criminalization of farmers managing seed systems. The 1991 UPOV-based PVP Law has the potential to pave the way for the criminalization of the recycled distribution (reuse of seeds by storing or exchanging) genetic material that revolves in agricultural systems, by prohibiting farmers from using, exchanging, and selling protected varieties as well as in some situations, harvesting materials. obtained from recycled seeds.

The UPOV-style PVP Law will facilitate industrial-style and monoculture-based farming systems, which strongly favor the protection of the intellectual property rights of commercial seed developers. This law is clearly aimed at replacing traditional farmer varieties with uniform commercial ones and increasing the dependence of smallholders on commercial seed varieties. In general, there are global and local struggles to actively defend territorial and food sovereignty, against pressure from agribusiness companies and governments to support their agendas. In this battle, there is specific resistance to the Seed Law and PVP in the global South.

Forum Petani Pemulia dan Penangkar Benih

Bagi petani pada umumnya yang hidup di pedesaan sudah sangat jelas, pertanian adalah kehidupan itu sendiri, bukan saja sebagai sumber mata pencaharian yang akan menghasilkan pendapatan, juga sebagai identitas dan budaya. Praktek-praktek pertanian dan kemampuan untuk melakukan budidaya pertanian merupakan pondasi dari kehidupan di pedesaan. Para petani sudah lama memanfaatan keanekaragaman hayati melalui praktek kegiatan pertanian dengan melakukan pemilihan dan pemuliaan benih-benih tanaman dan ternak selama ribuan tahun. Sampai saat ini, kita masih dapat menemukan sebagian petani yang masih menguasai keahlian ini tanpa bantuan dari luar. Kenyataannya, seluruh keanekaragaman hayati pertanian di muka bumi ini diciptakan oleh petani yang selama ribuan tahun telah mengembangkan tanaman dan ternak yang sesuai dengan kebutuhan dan idaman petani. Menurut laporan dari ETC grup, sejak tahun 1960-an, para petani kecil di dunia telah mengembangkan 1,9 juta varietas tanaman.

Sebagian besar sumber daya genetik itu perlahan-lahan mengalir ke banyak bank benih internasional atau langsung kepada peneliti. Perusahaan-perusahaan benih internasional mengambil manfaat terbesar dari tersedianya secara gratis sumber daya genetik tersebut dan mengembangkannya menjadi benih unggul, hibrida, ataupun transgenik yang bernilai jutaan dollar. Hingga saat ini, para peneliti di industri benih telah mengembangkan 72.500 varietas baru tanaman atau sembilan kali lipat dari varietas baru yang dikembangkan lembaga-lembaga publik. Bertolak belakang dari hal tersebut, sebuah aturan internasional yang dimandatkan oleh perjanjian atau pakta tentang ”berbagi keuntungan” itu praktis tak ada wujudnya.

Mengingat pentingnya keberadaan pemulia tanaman ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai instrumen yang mengatur terkait pemuliaan tanaman yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian). Tujuan utama UU benih yang baru adalah untuk memfasilitasi pasar baru bagi perusahaan benih komersial, kepemilikan oleh multinasional atas sektor benih di belahan dunia Selatan dan penyingkiran atau kriminalisasi petani yang mengelola sistem benih. UU PVT berbasis UPOV 1991 berpotensi membuka jalan bagi kriminalisasi atas distribusi daur ulang (penggunaan kembali benih dengan menyimpan atau saling tukar) bahan genetis yang bergulir dalam system pertanian, dengan melarang petani menggunakan, bertukar dan menjual varietas terlindungi sama halnya dalam beberapa situasi, memanen bahan yang diperoleh dari benih daur ulang.

UU PVT bergaya UPOV akan memfasilitasi system pertanian bergaya industry dan berbasis monokultur, yang sangat condong terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual para pengembang benih komersial. UU ini secara jelas ditujukan untuk mengganti varietas petani tradisional dengan tradisional komersial yang seragam, dan meningkatkan ketergantungan petani kecil terhadap varietas benih komersial. Secara umum, terdapat pertarungan global maupun local untuk secara aktif mempertahankan wilayah dan kedaulatan pangan, melawan tekanan dari perusahaan-perusahaan agribisnis dan pemerintahan yang mendukung agenda mereka. Dalam pertarungan ini terdapat resistensi spesifik terhadap UU Benih dan PVT di belahan dunia Selatan

Tags:

Comments are closed